Sabtu, 17 Desember 2011

Karang & Kinar


Novel  dan  Kartu Ucapan
            Sore itu, sebelum adzan ashar berkumandang membangunkan umat-umat yang sedang terbawa mimpi tidur siang di hari minggu yang begitu hangat, seorang gadis remaja 16 tahun yang menghabiskan siangnya di atas tempat tidur selepas ia pulang mengaji ba’da dzuhur tadi, memutuskan pergi dengan seseorang yang orang bilang sebagai “pacar”-nya. Melewati sore hingga senja, petang dan akhirnya malam -tidak larut, hanya pukul delapan-. Kebetulan hari ini adalah hari jadi hubungannya yang ke enam bulan, terkesan begitu berarti, meski belum hitungan tahun, namun tetap berarti. Kinar yang pergi keluar dari pintu rumahnya dengan kerudung putihnya yang tertiup angin hingga ia pun mengerdipkan matanya yang kemasukan debu. Melangkah hingga satu rumah di sebelah rumahnya menuju depan gang sempit itu. Seketika bertemu dengan ibu-ibu setengah baya berkerudung cokelat panjang dengan daster agak kumel -habis bantu tetangga masak untuk acara tahlilan- dan selalu ia panggil dengan sebutan ummi. Seketika bilang, “aku main mi, sebentar..” langsung melangkah lagi meski ummi masih berbicara menyuruhnya untuk tidak pulang terlalu malam. Hanya anggukan dan selintas senyum yang sebenarnya tidak terlihat sama sekali oleh ummi.
            Sampai di depan gang sempit, di depan pom bensin, sudah ada seorang anak muda yang juga berusia 16 tahun -lebih tua Kinar 3 bulan- duduk di atas motor matic hitamnya. Menunggu. Sudah 15 menit Karang menunggu gadis berpipi tembam yang amat di sayanginya itu. Meliriknya dari kaca spion, terlihat Kinar tersenyum genit menggemaskan pada Karang. Pura-pura tidak tahu. Menyapanya, “ayo Kar, cepet kita jalan.”  Mukanya yang masih tersenyum-senyum genit menggemaskan -sebenarnya tidak jelas arti dari senyumnya itu apa- sambil mengernyitkan dahi tanda permohonan supaya Karang cepat menyalakan motor matic hitamnya itu. 10 detik. Wuusshh... tak ada lagi bayangan 2 orang remaja yang pipinya memerah. Entah seperti baru pertama kali bertemu saja.
            Awalnya mereka sudah sepakat untuk pergi ke salah satu tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu, bercerita, tertawa, ngambek, dan apa sajalah gurauan-gurauan remaja favorit mereka. Sebuah wisata kolam ikan -wisata gratis- yang dikelilingi dengan restauran yang mahal, sedang, hingga murah dan sesuai dengan kantong pelajar SMA seperti mereka. Namun setelah sampai tepat di depan pintu gerbang wisata kolam ikan yang berada di pinggir kota dekat bukit itu, Kinar menyeringai dengan nada yang sedikit membujuk, “Karang, aku males, bosen..” Seketika Karang langsung berhenti dan memutar balik stirnya, tanpa basa-basi ia bertanya, “Kinar ngga mau kesini? Mau muter balik lagi? Mau kemana? Ke Elos? -nama salah satu mall yang lumayan sering mereka kunjungi-“ . Kinar merasa tidak enak, sudah sampai di tujuan dengan sempurna seperti rencana, tapi ia tiba-tiba malah bilang bosen. Diam dengan senyum tidak enaknya, hanya bisa mengelurkan suara “hhmmm.....”  Terdengar lagi suara lembut penuh kasih dari Karang, “kamu maunya kemana sayang?”  lagi-lagi dengan senyum tidak enaknya Kinar memutuskan untuk pergi ke Elos yang tidak jauh dari kolam ikan itu, hanya berjarak kurang dari 1 kilometer, dengan waktu kurang dari 15 menit mereka sudah sampai di tujuan. Sebenarnya Kinar bingung mengapa ia memilih datang kesini, nonton? Tidak. Belanja? Apalagi itu. Lalu? Entahlah.
            Tak ingin lama-lama bingung akhirnya mereka merapat ke sebuah toko buku terkenal. Menjelajahi pandangan mencari sesuatu yang mungkin bisa menarik perhatiannya. Melihat-lihat, membaca -hanya sinopsis, buku-buku disana masih terbungkus rapi dengan plastik- mengelilingi seisi toko, dari atas hingga bawah, mulai dari kesehatan hingga religi. Sebenarnya yang mereka lakukan hanya bercanda dan sibuk ngobrol berdua­, membicarakan apa saja -tentang buku-buku itu sih, sedikit-. Lalu Karang tiba-tiba tegas berkata pada Kinar, “Kinar pilih satu buku yang Kinar mau, nanti biar aku yang bayar.”  Kinar hanya mengernyitkan dahinya dan nyeletuk, “ngga mau!”  Karang bales nyeletuk, “harus!”  Karang memaksa. Kinar memang suka memendam apa yang ia inginkan, takut sekali dibilang materialistis, tapi Karang bersikukuh untuk membelikannya sebuah buku, Karang tau betul Kinar suka membaca, apa saja, meski tergantung pada moodnya juga. Kinar hanya diam, dengan pipi yang sedikit menggelembung dan bibir yang agak maju menunjukan kalau ia tidak suka, ngambek. Karang yang paling tidak tega jika melihat Kinar memasang wajah itu langsung membujuknya, “Kinar, saaattuuu aja, Kinar pilih yang mana Kinar mau, ayo lah sayang, Karang mau kasih kamu sesuatu yang lebih berarti dari sebelumnya. Ini kan hari spesial?!!”  Karang menatap Kinar dengan tatapan teduh penuh permohonan. Kinar yang juga paling tidak tega melihat Karang memasang wajah memprihatinkannya -setidaknya wajah itu sanggup membujuk Kinar yang sedikit keras kepala- hanya sanggup bilang, “ya, nanti.”  

Bersambung...