Karang dan Kinar memang memiliki perasaan
saling menyayangi. Memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat yang
biasa disebut dengan pacaran. Ya, Karang adalah pacarnya Kinar, dan Kinar
adalah pacarnya Karang. Mereka dan orang disekitarnya menyebut status mereka
adalah pacaran. Tapi bagi Kinar, Karang bukan pacarnya seperti Karang yang
menganggap Kinar pacar yang amat disayanginya. Karang adalah teman yang
menemaninya, Karang adalah sahabat yang mendengarkannya cerita dan share up and
down, Karang adalah kakak yang selalu menjaganya, Karang adalah adik yang
selalu membuatnya tertawa dengan tingkahnya, Karang adalah musuh yang
membuatnya menangis saat ia cemburu, Karang adalah lawan saat mereka taruhan
main tebak-tebakan, Karang adalah alarm yang mengingatkannya tentang banyak
hal, Karang adalah sapu tangan yang mengusap air matanya, Karang adalah ini,
Karang adalah itu, seperti semua itu membuktikan kalau Karang ada untuk
dirinya. Tak lain dengan Karang, Kinar juga sangat menyayanginya. Karang yang
selalu ingin mengorbankan apapun untuk Kinar, apapun yang Kinar mau, kemanapun
Kinar ingin pergi, kapanpun Kinar ingin, dan bagaimanapun caranya, Karang
selalu ada untuk Kinar. Rasa sayang yang begitu kuat memancar jauh dari dalam
hati Karang menuju hati Kinar. Sungguh seperti tak ada yang bisa merenggut
kasih sayang itu dari dalam hati mereka. Namun kenyataan yang mereka rasakan
tak seindah perasaan sayang mereka. Orang tua Kinar. Tidak, keluarga lebih
tepatnya. Keluarga Kinar bukanlah keluarga-keluarga biasa pada umumnya, Kinar
sama sekali tidak diizinkan untuk pacaran, sama sekali tidak. Sebenarnya Kinar
mengerti benar kalau pacaran itu memang tidak boleh. Itulah sebabnya Kinar
mengurungkan untuk menyebut Karang sebagai pacarnya. Kinar lebih suka menyebut
Karang dengan kata close friend –yang
buat Kinar Iclose friend itu lmore than everything-. Kinar mengerti benar aturan main keluarganya itu, tapi Kinar
lebih mengerti dirinya yang sungguh tidak mampu untuk membunuh perasaan itu
terhadap Karang. Kinar dalam kegalauan yang memuncak saat ia hendak menerima
pertanyaan Karang tentang komitmen yang akan mereka jalani -nembak-. Kinar
memutuskan untuk menjalaninya.
Awalnya
biasa saja, mungkin karena memang baru dan belum ada yang mencurigai tentang
status Kinar itu. Keluarganya sungguh memahami Kinar yang masih duduk di bangku
SMA dan masih sangat butuh akan pergaulan yang akan membawanya untuk
beradaptasi dan lebih dewasa, karena lingkungan, teman, dan semua yang ada di
sekeliling kita adalah pelajaran hidup dalam sebuah kehidupan. Lagipula selama
ini Kinar memang hanya menyebut Karang sebagi close friend yang sungguh
baik, sangat baik. Hingga sampai sudah setengah tahun mereka menjalani komitmen
mereka, berusaha ada dalam ketiadaan, selalu bersama -dalam waktu yang sangat
wajar-, menjadi seorang yang begitu pengertian satu sama lain. Mereka tak
pernah main-main, selalu serius, meskipun tujuan itu masih sangat jauuhh di
masa yang akan datang, tapi menjaga dan merawat cinta yang telah tertanam,
bukan hal yang bisa dipermainkan, karena ini perasaan, hati, cinta.
Novel
itu, novel karya penulis favoritnya, ia pilih sebagai permintaan Karang yang
memaksa untuk membelikannya sebuah buku. Ya, ternyata novel itu adalah hadiah
yang diberikan Karang untuk Kinar pertanda enam bulanan mereka. Romantis, bukan sesuatu yang mahal dan
mewah, melainkan sebuah novel yang sudah lama Kinar incar. Ini lebih berharga
dari kalung emas, gelang perak, atau hadiah-hadiah mahal lainnya. Kinar tak
mengerti mengapa Karang begitu menyayanginya, tapi ia lebih tak megerti dirinya
sendiri mengapa ia juga begitu menyayangi Karang. Tapi sekarang ia telah
menemukan jawabannya. Karena Karang memberikannya sebuah novel yang sangat ia
inginkan? ah, bukan, tentu saja bukan. Kinar menyayangi Karang karena anugrah
yang harus ia jaga, sampai nanti ia akan memiliki anugrah itu seutuhnya, ya,
seutuhnya, tanpa ada yang bisa mengambil alih, kecuali Tuhan, bukan yang lain.
Sedikit
berbeda dengan Karang yang memberikannya sebuah novel sebagai hadiah enam
bulanan, Kinar membuat sebuah kartu lipat yang dibuatnya sendiri dari
guntingan karton dan terdapat sebuah gambar sketsa dirinya, dengan sedikit kata
ucapan yang cukup indah. Sangat sederhana memang, Karang pun sampai diam seribu
bahasa saat menerima kartu itu dan membuka lalu melihatnya. Kinar yang bingung
melihat ekspresi karang itu langsung merendah, merasa tidak enak dengan apa
yang ia berikan pada Karang, jauuhh sekali bandingannya dengan apa yang Karang
berikan pada Kinar. “Karang, maaf, itu jelek sekali. Eeehhh... berbeda
sekali dengan apa yang kamu berikan untukku.”
Kinar cukup gugup dengan ekspresinya Karang itu. “Karang, kamu
bisa menyimpannya di kolong lemari atau di kolong tempat tidur, atau dimana
saja kalau kamu ngga suka. Tapi please yaa jangan di buang. Please” sedikit memelas, sedih, bingung. Ia
begitu kuat memikirkan apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Karang dengan
ekspresi seperti itu.
“engga,
engga Kinar, justru aku mikirin ini gimana kamu bikinnya? Koq
bisa?” jelas Karang yang masih dengan ekspresi
seperti tadi, tapi sedikit lebih keras berfikirnya sekarang. “makasih yaa
Kinar, aku justru lebih suka kalau buatan tangan sendiri, itu artinya kan
kreatif, aku suka, suka banget, makasih banyak ya Kinar, aku jadi terharu nih,
hehe.” Jelas Karang yang benar-benar tidak mau Kinar kecewa dengan apa yang
Kinar berikan untuknya.
Hari
itu memang sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya, bisa dibilang lebih
istimewa, atau bahkan sangat istimewa. Kinar terbiasa untuk mencurahkan
perasaannya pada akun-akun sosial di dunia maya, facebook, twitter, blog,
plurk, dan apalah. Namun ternyata itu bukanlah suatu kebiasaan yang cukup baik,
ya, bahkan tidak baik, mungkin untuk orang lain atau lebih utamanya untuk diri
sendiri. Saat Kinar memposting kalimat
yang sangat biasa di salah satu akun miliknya, terdapat banyak respons dari
teman-temannya, banyak dan menyakitkan. Hanya karena sebuah novel + Rp.
40.000,- lalu datanglah serbuan kata-kata tidak pantas didengar yang serta
merta menjudge Kinar sebagai cewe materialistis. Sakit memang hati
Kinar saat itu, tapi Kinar selalu ingat apa yang pernah dibilang oleh Denis,
teman curhatnya, jangan perasaan, let it flow saja lah. Dan Kinar selalu sadar,
bahwa disaat ada orang yang begitu menyayanginya, di sisi lain, pasti ada juga
orang yang sangat membencinya, ya, this is way. Kinar mungkin lemah, hatinya
sangat teramat labil, tapi ia selalu yakin kalau memang Tuhan selalu adil,
begitu sering ia menangis, mengadu pada Tuhan, bahwa banyak sekali yang mencoba
untuk meruntuhkan ketegarannya, walau Kinar sama sekali bukan gadis yang tegar.
Ia selalu menangis, kapanpun ia butuh air matanya untuk membuatnya lebih tenang
–sebenarnya tidak-. Ia selalu menangis untuk mengatasi masalah, karena air
matanya bisa membuat hatinya lebih jernih –mungkin-. Tak lain dan tak bukan,
Karang lagi, selalu Karang yang paling mengerti apa kondisi Kinar, mencoba
untuk membuatnya lebih tenang –meskipun sudah menangis, tapi ternyata tidak
lebih tenang-. “mereka itu sirik Kinar,
mereka nggak seperti kamu, ya kan?? Kalau mereka marah dan berkata seperti itu,
apa coba alesannya? Nggak jelas kan? Mereka nggak bisa seperti kamu Kinar. Udah
dong jangan sedih yaa, aku kangen kalau kamunya sedih terus.” Karang memang
selalu bisa merayu Kinar, ya, dari pada Kinar menangis lagi. Kinar menangis
hanya karena sebuah novel dan kartu ucapan? tidak, Kinar menangis karena
perasaan.